Pemindahan Ibu Kota Kurangi Beban Jakarta
Wacana pemindahan Ibu Kota dari
Jakarta ke lain tempat didukung mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.
Menurutnya, pemindahan ibu kota dapat mengurangi berbagai beban berat
yang selama ini terlalu kompleks.
"Pemindahan ibu Kota itu sangat baik,
karena bisa mengurangi beban yang terlalu berat ditanggung Jakarta
selama ini," ujar Sutiyoso dalam acara Dialog Interaktif DPD RI
Perspektif Indonesia "Untung Rugi Pemindahan Ibu kota" di Pressroom DPD
RI, Jakarta, Jumat (1/10).
Dipaparkan pria yang akrab disapa
Bang Yos ini, ada dua beban berat yang ditanggung kota Jakarta.
Pertama, sebagai sentra perdagangan dan perekonomian, Jakarta mengalami
beban penumpukan, baik jumlah warga dan bangunan gedung. "Wajar saja
ada penumpukan, karena ada gula ada semut," katanya.
Kedua, beban dampak sosial. Seperti
problem kekumuhan lingkungan, meningkatnya tindakan kriminalitas dan
kemacetan. "Yang paling bermasalah adalah kemacetan. Kemacetan itulah
biang persoalan, hingga harus pindah kota," tandas Bang Yos.
Ia mengusulkan agar Indonesia meniru
model Canberra yang menjadi ibu kota negara Australia. "Canberra layak
dicontoh sebagai ibu kota ideal. Di sana penduduknya tidak padat.
Banyak tanah kosong. Tidak ada lapangan terbang," imbuhnya.1)
Pemindahan Ibu Kota Negara Tak Selesaikan Macet Jakarta
Ketua Umum DPP Laskar Ampera
Arief Hakim Angkatan 66, Handrijck Yulien Pasaribu menolak wacana
pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta.
Menurut dia, wacana pemindahan Ibu Kota tersebut hanya menunda masalah dan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Untuk mengatasi kemacetan, Handrijck meminta komitmen dari pemerintah dalam pengembangan transportasi.
“Kalau hanya menyelesaikan masalah kemacetan tidak perlu Ibu Kota pindah. Kalaupun pindah, nantinya masalah kemacetan juga akan berpindah,” ujarnya dalam diskusi “Mengupas Problematika Jakarta” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (30/7/2010).
Dia mengungkapkan, Jakarta penuh dengan nilai-nilai sejarah perjuangan yang tidak bisa diabaikan. Nilai-nilai sejarah tersebut menjadi salah satu pertimbangan menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota negara Indonesia. Pihaknya lebih setuju dengan pembatasan kendaraan bermotor, baik dari aspek penggunaan maupun produksinya.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia (LKPI) Chandra Andi Salam juga mengusulkan pembatasan kendaraan bermotor. Menurut dia, populasi kendaraan bermotor di Jakarta sudah melebihi batas normal. Sementara, penambahan infrastruktur jalan sangat lambat.
“Pertumbuhan jalan kurang dari 1 persen, sementara jumlah kendaraan bertambah ratusan unit setiap hari. Kalau ini dibiarkan, sepandai apa pun yang duduk di pemerintahan, ya kemacetan tidak bakal hilang,” kata Chandra.
Pihaknya mengakui usulan pembatasan kendaraan bermotor sangat dilematis. Di satu sisi, dengan penambahan unit kendaraan bermotor, pajak dari sektor ini meningkat. Namun, jika dibiarkan tidak terkendali justru menjadi masalah yang tak kunjung tuntas.
“Sebenarnya kalau pajak kendaraan bermotor berkurang, pemerintah DKI bisa mencari solusi dari sumber lain. Sebagai kota jasa, sebetulnya untuk mencari sumber pajak selain kendaraan beromotor di Jakarta amat mudah,” ujar Chandra. 2)
Menurut dia, wacana pemindahan Ibu Kota tersebut hanya menunda masalah dan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Untuk mengatasi kemacetan, Handrijck meminta komitmen dari pemerintah dalam pengembangan transportasi.
“Kalau hanya menyelesaikan masalah kemacetan tidak perlu Ibu Kota pindah. Kalaupun pindah, nantinya masalah kemacetan juga akan berpindah,” ujarnya dalam diskusi “Mengupas Problematika Jakarta” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (30/7/2010).
Dia mengungkapkan, Jakarta penuh dengan nilai-nilai sejarah perjuangan yang tidak bisa diabaikan. Nilai-nilai sejarah tersebut menjadi salah satu pertimbangan menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota negara Indonesia. Pihaknya lebih setuju dengan pembatasan kendaraan bermotor, baik dari aspek penggunaan maupun produksinya.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia (LKPI) Chandra Andi Salam juga mengusulkan pembatasan kendaraan bermotor. Menurut dia, populasi kendaraan bermotor di Jakarta sudah melebihi batas normal. Sementara, penambahan infrastruktur jalan sangat lambat.
“Pertumbuhan jalan kurang dari 1 persen, sementara jumlah kendaraan bertambah ratusan unit setiap hari. Kalau ini dibiarkan, sepandai apa pun yang duduk di pemerintahan, ya kemacetan tidak bakal hilang,” kata Chandra.
Pihaknya mengakui usulan pembatasan kendaraan bermotor sangat dilematis. Di satu sisi, dengan penambahan unit kendaraan bermotor, pajak dari sektor ini meningkat. Namun, jika dibiarkan tidak terkendali justru menjadi masalah yang tak kunjung tuntas.
“Sebenarnya kalau pajak kendaraan bermotor berkurang, pemerintah DKI bisa mencari solusi dari sumber lain. Sebagai kota jasa, sebetulnya untuk mencari sumber pajak selain kendaraan beromotor di Jakarta amat mudah,” ujar Chandra. 2)
Ketua MPR Setuju Ibu Kota Pindah ke Palangka Raya
Ketua MPR Taufieq Kiemas mendukung rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangka Raya,
Kalimantan Tengah (Kalteng). Ia menilai Kota Jakarta sudah semakin
semrawut dan tidak layak lagi untuk dijadikan pusat pemerintahan.
"Di sisi pemerintahan, kita bisa membagi kesibukan di antara Pulau Jawa dan pulau lain. Kalimantan itu juga pulau paling tidak pernah gempa, aman, stabil, dan tenteram. Selain itu, potensi alam Kalimantan Tengah juga luar biasa untuk perkebunan dan mineral," kata Taufieq di Palangka Raya, Sabtu (24/3).
Menurut Taufieq, itu juga sejalan dengan pemikiran Bung Karno ketika dulu mengunjungi Kota Palangka Raya. "Bung Karno melihat bangsa Indonesia akan semakin besar. Dia memikirkan tempat yang tepat bagi pusat pemerintahan. Dari Banjarmasin, dulu Bung Karno pernah mengunjungi Palangka Raya, berangkat naik kapal dua hari dua malam. Dia melihat kota inilah yang paling tepat," katanya.
Taufieq menegaskan wacana pemindahan Ibu Kota bisa direalisasikan jika semua pemangku kebijakan serius menyikapinya. "Sesudah Bung Karno, wacana ini sempat tenggelam. Baru pada saat pemerintahan Presiden SBY wacana ini muncul lagi. Kalau semua serius mewacanakan dan melaksanakan, saya rasa bisa. Wong, kita merdeka saja bisa direalisikan kok, apalagi wacana pemindahan Ibu Kota," tegasnya.
Gubernur Kalteng Teras Narang mengatakan saat ini pihaknya sedang getol membangun untuk menyiapkan Kota Palangka Raya sebagai ibu kota negara.3)
"Di sisi pemerintahan, kita bisa membagi kesibukan di antara Pulau Jawa dan pulau lain. Kalimantan itu juga pulau paling tidak pernah gempa, aman, stabil, dan tenteram. Selain itu, potensi alam Kalimantan Tengah juga luar biasa untuk perkebunan dan mineral," kata Taufieq di Palangka Raya, Sabtu (24/3).
Menurut Taufieq, itu juga sejalan dengan pemikiran Bung Karno ketika dulu mengunjungi Kota Palangka Raya. "Bung Karno melihat bangsa Indonesia akan semakin besar. Dia memikirkan tempat yang tepat bagi pusat pemerintahan. Dari Banjarmasin, dulu Bung Karno pernah mengunjungi Palangka Raya, berangkat naik kapal dua hari dua malam. Dia melihat kota inilah yang paling tepat," katanya.
Taufieq menegaskan wacana pemindahan Ibu Kota bisa direalisasikan jika semua pemangku kebijakan serius menyikapinya. "Sesudah Bung Karno, wacana ini sempat tenggelam. Baru pada saat pemerintahan Presiden SBY wacana ini muncul lagi. Kalau semua serius mewacanakan dan melaksanakan, saya rasa bisa. Wong, kita merdeka saja bisa direalisikan kok, apalagi wacana pemindahan Ibu Kota," tegasnya.
Gubernur Kalteng Teras Narang mengatakan saat ini pihaknya sedang getol membangun untuk menyiapkan Kota Palangka Raya sebagai ibu kota negara.3)
MPR tak Henti-hentinya Kampanyekan Pemindahan Ibu Kota
Pemindahan ibu kota Pemerintahan dari Jakarta ke daerah lain seperti di Palangkaraya tidak pernah surut. Bahkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tak henti-hentinya mengampanyekan pemindahan tersebut kapada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Sudah beberapa kali MPR mengusulkan ke Presiden mengenai pemindahan ibu kota pemerintahan. Tetapi, semua pihak meski sepakat terlebih dahulu," kata Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid disela seminar nasional 'Empat Pilar Kebangsaan' di Pontianak, Kamis (12/4).
Ia melanjutkan, saat ini terjadi ketidakefektifan di Jakarta selaku pusat pemerintahan. Ia mencontohkan, untuk premium saja, setiap tahun sekitar Rp 40 triliun dana yang dihabiskan karena kondisi transportasi di Jakarta dan sekitarnya. "Belum lagi jutaan jam waktu yang terbuang di jalanan Jakarta. Ini sangat tidak efektif," ujarnya lagi.
Ia menambahkan, usulan pemindahan pusat pemerintahan itu sudah dicanangkan sejak masa Presiden Soekarno. "Mungkin sejak itu, Bung Karno sudah punya gambaran bahwa Palangkaraya tempat yang tepat," tuturnya.
Palangkaraya, lanjut dia, berada di tengah Pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan sendiri bebas dari ancaman gempa yang mengelilingi Indonesia mulai ujung Sumateran hingga Papua. Selain itu, jumlah penduduk masih sedikit, lahan yang dimiliki sangat luas serta Kalimantan mempunyai kekayaan alam sangat luar biasa.
"Jarak dari Jakarta tidak terlalu jauh. Kalau menggunakan penerbangan cukup satu jam 20 menit," kata mantan staf pengajar di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. Ia yakin, Palangkaraya akan menjadi tempat terbaik untuk dijadikan pusat pemerintahan Indonesia dimasa mendatang.4)
Biaya Pemindahan Ibu Kota Sangat Besar
Badan
Pusat Statistik (BPS) menaksir ongkos untuk pemindahan ibu kota negara
ke wilayah lain sangat besar. Lembaga ini menyarankan perlunya
dilakukan kajian mendalam jika ingin mewujudkannya. "Pindah itu
implikasinya luas," kata Kepala BPS Rusman Heriawan di Jakarta kemarin.
Rusman menyarankan agar pemerintah pusat membenahi wilayah DKI Jakarta
lebih dulu sebelum memutuskan memindahkan ibu kota. Salah satu caranya
adalah tak memusatkan pembangunan mal di Jakarta. “Banyak mal hanya
akan menarik lebih banyak pendatang,” kata dia. Pusat belanja, kata
Rusman, sebaiknya didirikan di luar Jakarta, misalnya di Karawang.
Wacana pemindahan ibu kota negara mencuat karena kemacetan di DKI
Jakarta semakin menggila. Perbincangan soal pemindahan ibu kota itu
pertama bergulir di seminar yang digelar Badan Perencana Pembangunan
Nasional (Bappenas) pekan lalu. Beberapa
daerah yang dijagokan menggantikan Jakarta, antara lain, kota di
pinggir Jakarta, Palangkaraya, serta salah satu kota di Indonesia
timur. Sebagian pembicara menolak gagasan tersebut. Dewan Penasihat
Presiden Emil Salim, misalnya, menilai tata ruang Jakarta masih mampu
mendukung aktivitas skala regional dan global. Menurut Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi, dalam pemerintahan Presiden Soekarno memang
pernah muncul rencana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya. Saat itu
alasan yang dikemukakan adalah tak adanya potensi gempa di ibu kota
Provinsi Kalimantan Tengah tersebut. Tapi kini keinginan pindah muncul
lantaran dalih kemacetan lalu lintas yang parah di Jakarta. “Serahkan
saja kepada DKI Jakarta,” kata dia, akhir pekan lalu.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo
menolak mengomentari wacana tersebut. “Karena tugas saya di Jakarta,"
kata dia. Namun Wakil Gubernur Prijanto mendukung gagasan pemindahan ibu
kota.
Menurut Prijanto, hal itu akan
menyelesaikan problem perkotaan sembari meratakan pembangunan nasional.
“Daerah-daerah yang tertinggal di sejumlah wilayah akan ikut
berkembang.” Ia juga tak mempersoalkan seandainya Jakarta dijadikan
kota jasa dan pusat perekonomian. Untuk kepentingan ini, kompleks
perguruan tinggi yang masih tersebar di dalam kota mesti dipindahkan ke
pinggiran Jakarta.5)
Jejak
pendapat terhadap karyasiswa Program S2 Geografi dan faktor ekternal
dan internal wacana pemindahan lokasi menghasilkan pandangan bahwa
Ibukota Negara perlu dipindahkan. Banyak alternatif yang disampaikan
meskipun belum disertai dengan argumentasi yang matang. Daerah yang
diusulkan untuk dipilih sebagai pemindahan ibu kota negara adalah tetap
di P. Jawa, di luar Jakarta, Kalimantan, dan Sumatra. Sebelum
menentukan alternatif untuk menentukan pilihan lokasi pemindahan ibu
kota negara, terlebih dahulu perlu dicari rumusan ibu kota negara yang ideal.
Penelusuran pustaka tentang syarat ibu kota negara yang ideal belum
ditemukan. Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara yang ideal
harus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan; maka perlu antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan
air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar
kondusif dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkan rumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia untuk menentukan alternatif lokasi sebagai calon Ibukota negara. Yang kesemuanya sudah barang tentu sangat memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Multi fungsi Jakarta
merupakan dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem
multi fungsi yang memusat di Jakarta. Akibatnya sejumlah dampak
sosial, politik, ekonomi dan ekologi menjadi beban Jakarta, berikut
dampak yang dimaksud (Baiquni, 2004).
1.
Pemerintahan sentralitis yang dikendalikan secara otoriter dan serba
seragam telah mengabaikan kemajemukan sosial budaya masyarakat dan
keseragaman ekosistem wilayah negara kepulauan. Sistem kekuasaan yang
memusat, membuat sistem pemerintahan daerah kehilangan kemandirian dan
fungsi birokrasi tidak dapat berkembang melayani dan memfasilitasi
partisipasi masyarakat, tetapi lebih melayani atasan atau pimpinan
elitenya.
2.
Kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang mengerucut
pada elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secara konstitusional
maupun publik menyebabkan mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3.
Pemusatan fungsi tersebut akhirnya membawa beban bagi Jakarta yang
ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas,
kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kekerasan, dan kejahatan.
4.
Permasalahan tersebut diikuti krisis ekologi, yang berupa pencemaran
udara, pencemaran airtanah, air bersih, banjir rutin, tata ruang yang
semrawut, munculnya kawasan kumuh, dan lingkungan hidup yang kurang
nyaman.
5.
Konflik mudah terjadi antara kepentingan ekonomi dan ekologi,
kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit dan masyarakat.
Berdasarkan kondisi Jakarta dan berbagai dampak tersebut perlu dipertanyakan, masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara dan apakah pemindahan ibu kota sebagai suatu keharusan atau sekedar wacana?
Sumber :
1. http://www.inilah.com/read/detail/857911/sutiyoso-pemindahan-ibu-kota-kurangi-beban-jakarta/
2. http://news.okezone.com/read/2010/07/31/338/358309/pemindahan-ibu-kota-negara-tak-selesaikan-macet-jakarta
3. http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/03/24/86133/Ketua-MPR-Setuju-Ibu-Kota-Pindah-ke-Palangka-Raya/1
4. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/12/m2cq4y-mpr-tak-hentihentinya-kampanyekan-pemindahan- ibu-kota
5. http://www.tempo.co/read/news/2010/08/03/078268277/Biaya-Pemindahan-Ibu-Kota-Sangat-Besar
3. http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/03/24/86133/Ketua-MPR-Setuju-Ibu-Kota-Pindah-ke-Palangka-Raya/1
5. http://www.tempo.co/read/news/2010/08/03/078268277/Biaya-Pemindahan-Ibu-Kota-Sangat-Besar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : Kumpulan Wacana Pemindahan Ibukota Negara
Dipostkan Oleh : Unknown
Anda sedang atau telah membaca artikel Kumpulan Wacana Pemindahan Ibukota Negara. Terima kasih atas kunjungan dan perhatiannya, Salam kenal dari Dee Kaa
Judul : Kumpulan Wacana Pemindahan Ibukota Negara
Dipostkan Oleh : Unknown
Anda sedang atau telah membaca artikel Kumpulan Wacana Pemindahan Ibukota Negara. Terima kasih atas kunjungan dan perhatiannya, Salam kenal dari Dee Kaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar